-->

Mengenal Sosok Dokter Spesialis "Gigitan Ular"

Bagi rekan-rekan yang berkecimpungan di dunia reptile khususnya ular pasti sudah tidak asing lagi dengan dokter spesialis gigitan ular ini. Puluhan jenis ular yang hidup di Indonesia memiliki bisa mematikan. Di antara sekitar 120.000 dokter Indonesia, ada satu dokter bernama Tri Maharani yang mengabdikan hidup dan ilmunya untuk menyelamatkan satu per satu nyawa korban gigitan ular berbisa. Nyawa yang kini masih terabaikan. Dikutip dari portal biologi.ugm.ac.id, pakar gigitan ular dan toksikologi, Dr. dr. Tri Maharani, M.Si., Sp.EM., mengungkapkan Kurangnya pemahaman masyarakat terhadap penanganan gigitan ular menyebabkan penanganan pasien kasus gigitan ular di Indonesia belum sepenuhnya mengikuti prosedur Badan Kesehatan Dunia (WHO).
doc. kompas.id
Berikut profil singkat Dr. dr. Tri Maharani, M.Si., Sp.EM.,
Lahir : 31 Agustus 1971
Pekerjaan : Kepala IGD RS Umum Daha Husada, Kediri, Jawa Timur
Pendidikan
- Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya (1990-1998)
  - Program Studi Dokter Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya
(2008-2014)
-Sandwich Like Program PhD Biomedic in Hypertension Department Gashuisberg Hospital, Fakultas Kedokteran Katholieke Universiteit Leuven, Belgia (2011)

Sepak terjang bu Maha pada kasus gigitan ular di Indonesia patut kita apresiasi. Beliau giat dalam berbagi ilmu melalui sosial media seperti pada akun facebook-nya maupun mengisi sebagai pembicara dalam acara pelatihan atau sosialisasi yang berkaitan dengan ular tentunya. Bila ada pertanyaan mengenai cara mengatasi gigitan ular, anda bisa berkonsultasi dengan bu dokter Maha. Berbagai pengorbanan bu Maha sudah menyelamatkan ratusan nyawa. Salah satu kegiatan mulia bu Maha saat ia dihubungi oleh RSU PKU Muhammadiyah Bantul, Yogyakarta karena kedatangan pasien seorang anak tujuh tahun yang terkena gigitan ular hijau kepala segitiga ekor merah (Trimeresurus albolabris) salah satu jenis ular yang anti bisanya belum dibuat di Indonesia. Ketika mendengar kasus tersebut, bu Maha langsung meminta stafnya di Kediri untuk mengirimkan serum anti bisa ular (SABU) khusus ular hijau yang diimpornya dari Thailand ke Yogyakarta.

Seusai pemberian SABU, pasien sudah sehat kembali dalam tiga hari. Tanpa SABU yang diberikan secara cuma-cuma oleh bu Maha tersebut, para dokter kemungkinan tak punya pilihan selain menanti pasien dijemput maut. Tidak hanya itu, beberapa hari kemudian bu dokter Maha juga menyempatkan untuk menjenguk dan memantau langsung kondisi pasien di Bantul. Semua biaya termasuk perjalanan itu bersumber dari kocek pribadinya.
doc. archive.rimanews.com

Bukan kali itu saja, ia sudah datang langsung dengan biaya sendiri ke sejumlah daerah sejak lima tahun yang lali, mulai dari Aceh sampai Papua, setiap ada dokter kesulitan menangani kasus gigitan ular. SABU diberikannya secara gratis. Sekadar informasi SABU tersebut bukan barang murah. Misalnya SABU ular hijau bisa sekitar Rp 3,6 juta per 10 mililiter. Indonesia memang sudah mampu memproduksi SABU sendiri, namun baru SABU polivalen unruk kasus gigitan ular kobra (Naja sputatrix), welang (Bungarus fasciatus), dan ular tanah (Agkistrodon rhodostoma). Serum polivalen dapat mengobati gigitan lebih dari satu jenis ular, tetapi efektivitasnya lebih rendah serum monovalent (spesifik untuk satu jenis ular).

Semua pengorbanan material yang ditanggung dokter aparatur sipil negara itu berlandaskan pemikiran bahwa harga nyawa tidaklah terbatas. Bagi bu Maha merupakan kepuasan tersendiri ketika menyelamatkan setiap nyawa. Beliau juga aktif mengumpulkan data kasus gigitan ular di Indonesia, mengingat belum ada lembaga resmi pemerintah yang melakukannya. Pada 2016 ia memperkirakan ada 135.000 kejadian secara nasional dalam setahun. Kasus meningkat menjadi 150.000 kejadian setahun pada 2017.

Perkiraan yang dibuat bu Maha berdasarkan jumlah kasus yang dilaporkan kepadanya dari sejumlah daerah. Sebanyak 728 kasus dikonsultasikan kepada beliau selama tahun 2017 dengtan 35 diantaranya berujung kematian. Ada 15 kematian yang disebabkan gigitan ular king cobra (lagi-lagi SABU asal Indonesia tidak cocok untuk jenis ular ini).

Dr. dr. Tri Maharani, M.Si., Sp.EM., tidak punya cita-cita selain menjadi dokter sejak di sekolah menengah pertama.  Ia terpengaruh pengalaman masa kecil melihat lingkungan kerja orangtuanya di RS Dinas Kesehatan Tentara (DKT) Kediri. Ayahnya bernama Imam Hambali, seorang anggota TNI Angkatan Darat sekaligus tekniker gigi. Adapun ibundanya, R Ngat Sri Atni berprofesi sebagai perawat.
doc. sarmta.com
Setelah menjadi dokter pada 1998 lulusan dari Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, bu Maha melanjutkan kariernya pada studi magister imunologi di Universitas Airlangga (2001-2003), pendidikan spesialis kedokteran emergensi di Brawijaya (2008-2014). Semua itu ia lakukan tanpa terencana dan tidak tahu mengapa mengambil bidang keilmuan tersebut. Dengan mempelajari imunologi (ilmu kajian sistem kekebalan tubuh makhluk hidup), ia paham bagaimana menentukan jenis SABU yang tepat unruk suatu kasus gigitan ular.

Berawal dari pertemuan dengan dokter Ahmad Khaldun Ismail, dosen Fakultas Kedokteran Universiti Kebangsaan Malaysia, yang sudah lebih dulu menggeluti soal gigitan ular berbisa. Bu Maha mengikuti berbagai acara terkait gigitan ular di sejumlah tempat.
Atas dedikasinya, dokter Maharani mendapat pengakuan dunia internasional. ia diundang sebagai pembicara dalam forum di lebih dari 10 negara dan menjadi temporary advisor bagi Organisasi Kesetahan Dunia PBB kawasan Asia Tenggara (WHO SEARO) dalam pembuatan pedoman pengelolaan gigitan ular. Saat ini ia aktif sebagai Review Adviser WHO Snakebite Envenoming Working Grup (SBE-WG) masa bakti 2017-2030.

Untuk membuat upaya pengurangan kematian akibat gigitan ular berbisa supaya berkelanjutan, bu Maha ikut mendirikan organisasi Remote Envenomation Consultancy Services (RECS) Indonesia pada 2015 serta Indonesia Toxinilogy Society (ITS) yang beranggotakan konsultan-konsultan untuk kasus gigitan ular ataupun kasus keracunan hewan lain.

"Saya tidak akan berhenti berkeliling menyebarkan pengetahuan karena masih banyak orang yang memerlukannya dan siap diundang kemana saja untuk berbagi secara gratis."
"Ini sudah janji saya, termasuk memakai separuh dari gaji untuk membiayai perjalanan ke luar kota." kata bu dokter Maha dengan tawa lebar yang khas, dikutip dari antaranews.com.
Sungguh mulia pengorbanan bu dokter Maha, semoga bisa menjadikan contoh dan teladan bagi kita dalam berbagi kebaikan pada sesama tanpa pamrih.

sumber : 
-Harian Kompas 6 September 2018
-https://biologi.ugm.ac.id/2016/05/02/kuliah-tamu-first-aid-management-of-dangerous-venomous-and-poisonous-animals/
- https://www.antaranews.com/berita/598545/soal-gigitan-ular-bertanyalah-pada-tri-maharani

Komentar (0)

Post a Comment