Ulat Sutera Unggul Terbaru Hasil Riset KLHK
Pada
Friday, November 9, 2018
Pusat Litbang Hutan Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) kini bersiap-siap mengumumkan dua tipe ulat sutra hybrid buatannya yang disebut-sebut memiliki berbagai keunggulan yang dibutuhkan. Kedua tipe yang belum memiliki nama kini terus dikembangkan dan diuji peneliti setempat di Bogor, Jawa Barat.
ulat sutera via ilmuhewan.com |
Kini ulat sutra hasil hybrid unggulan Pusat Litbang Hutan yang dihasilkan ada jenis BS-08, BS-09 (2004), dan PS-01 (2013). Jenis ulat sutra yang dihasilkan PS-01 singkatan Pusprohut Singlecross cocok dieplihara di dataran rendah dan dihasilkan dari persilangan galur murni Jepang dan Cina.
Dalam waktu deka, mereka meluncurkan ulat sutra yang tahan di ketinggian 400-800 meter. Juga satu jenis ulat yang menghasilkan kokon berwarna kuning alami.
Klasifikasi dari Bombyx mori L |
Sepanjang hidupnya, ulat sutera mengalami empat fase, yaitu telur, larva, pupa dan imago. Pada fase larva terdiri dari beberapa tahap yaitu instar I sampai V.
a. Telur
Telur ulat sutera berbentuk agak gepeng, ukurannya kira-kira 1,3 mm, lebar 1 mm dan tebal 0,5 mm beratnya hanya ± 0,5 mg. Warna telur hari pertama keluar dari induknya adalah kuning sampai kuning susu. Lama stadia telur akan sangat tergantung pada kondisi iklim atau perlakuan yang diberikan. Apabila suhu tinggi dapat menyebabkan telur menjadi tidak aktif, maka telur dapat menetas setelah 4-10 bulan, bila suhu normal telur akan menetas setelah 9-12 hari
b. Larva
Perkembangan ulat sutera terjadi perubahan instar dimana pada setiap perubahan instar ditandai dengan adanya molting. Lamanya dalam tahapan instar adalah instar I berlangsung selama 3-4 hari, instar II lamanya 2-3 hari, instar III lamanya 3-4 hari, instar IV lamanya 5-6 hari dan instar V lamanya 6-8 hari. Peralihan instar ke instar berikutnya ditandai dengan berhentinya makan, tidur dan pergantian kulit. Pada akhir instar V tidak terjadi pergantian kulit, tetapi badannya berangsur-angsur transparan seolah-olah tembus cahaya dan larva berhenti makan. Larva sudah mulai mengeluarkan serat sutera dan membuat kokon.
Siklus hidup ulat sutera (Bombyx mori L.) |
c. Pupa
Perubahan dari larva menjadi pupa ditandai dengan berhentinya aktivitas
makan. Proses pergantian kulit larva menjadi pupa akan terjadi di dalam kokon.
Pembentukan pupa berlangsung 4-5 hari setelah ulat selesai mengeluarkan serat sutera
untuk membentuk kokon. Lama masa pupa 9-14 hari. Dalam
bentuk pupa tidak tampak gejala hidup, pada hal terjadi perubahan besar yang sukar
dilukiskan. Tungkai tambahan yang terdapat disepanjang perut ulat menghilang. Pada
bagian dada muncul tiga pasang tungkai baru berbentuk tungkai dewasa. Bentuk
tungkai baru ini lebih panjang dan lebih langsing. Selain itu disusun pula sayap,
sistem otot baru dan semua bagian tubuh dewasanya.
d. Imago
Pada tahapan imago berlangsung selama 5-7 hari. Pada tahap imago merupakan tahapan yang reproduktif dimana terjadi perkawinan, dan betina mengeluarkan telur-telurnya. Kupu-kupu ini tidak dapat terbang dan kehilangan fungsional dari bagian mulutnya, sehingga tidak dapat mengkonsumsi makanan. Pertumbuhan ulat sutera sangat dipengaruhi oleh kondisi iklim di lokasi pemeliharaan, yaitu suhu, kelembaban nisbi, kualitas udara, aliran udara, cahaya, dan sebagainya.
Lincah menyebutkan dua jenis hybrid baru yang akan diluncurkan Januari 2019. Jenis ulat sutra alternative di ketinggian 400-800 meter juga dihasilkan dari galur murni Jepang-Cina. Sementara ulat sutra kokon kuning dihasilkan dari galur jenis Thailand berkokon kecil dengan ulat sutra lokal berkokon besar.
Lolos Skala Laboratorium
Kini jenis-jenis ini sedang diuji di masyarakat setelah melewati skala laboratorium. Lincah mengerjakan uji coba ini di Sukabumi bersama Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (KLHK). Kelompok Tani Hutan Mandiri Sukabumi dan PT Begawan Sutera Nusantara. “Dari uji lokasi dan multilokasi hasil sama baru kami ajukan ke mentari,” kata Lincah.
Peternakan ulat sutra dengan pendekatan kelompok tnai ini diakukan dengan mempercayakan penetasan hingga ulat kecil (instar 1 hingga 3) kepada ketua kelompok. Kata Lincah, rungan 6 x 4 meter cukup untuk pembesaran 10 boks bibit ulat sutra.
Periode ini merupakan masa kritis yang beresiko kematian tinggi akibat penyakit dan cuaca. Pada fase instar 1 ke instar 2, si ulat kecil ini berhenti makan dan tidur serta berganti kulit. “Kalau pada masa ulat kecil kuat, maka saat ulat besar akan sehat. Itulah kenapa ruangan ulat kecil lebih bersih,” katanya.
Setelah memasuki periode ulat dewasa (instar 4 dan instar 5) hingga pengokonan, bisa diserahkan kepada anggota kelompok. Ulat dewasa ini dipelihara 14-15 hari sebelum mengokon atau berubah menjadi kepompong.
Perhutananan Sosial
Peternakan ulat sutra membutuhkan sumber pakan berupa daun murbei yang cukup banyak. Setidaknya satu boks atau kantong bibit ulat sutra membutuhkan 400-500 kilogram daun murbei yang bisa dihasilkan dari 0.25 hektar lahan. Ini bisa dihasilkan darui lahan-lahan kritis maupun perhutanan sosial yang potensial.
tanaman murbei via kabartani.com |
Daun murbei ini didapatkan dari tanaman murbei yang umumnya memiliki usia produktif 25 tahun. Bahkan, peneliti di Badan Litbang dan Inovasi KLHK mengujicobakan budidaya tanaman murbei bisa dicampur dengan tanaman sayur atau tanaman keras untuk meningkatkan variasi pendapatan dan pemenuhan gizi.
Direktur Jendral Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan
, Bambang Supriyanto mengatakan peternakan ulat sutra dan penanaman tanaman
murbei berpotensi dikembangkan di beberapaareak oerhutanan sosial. Dengan
kebutuhan kondisi alam budidaya ulat sutra pada suhu 25-30 derajat celcius,
ketinggian 400-800 meter dan curah hujan 2500-3000 meter serta budaya menenun,
potensi ada di Jawa Barat (Garut dan Sukabumi), Sulawesi Selatan serta
Gorontalo.
Menurut data area alokasi pencadangan perhutanan sosial di
Sulawesi Selatan tersedia 393.131 hektar dan Gorontalo 61.053 hektar. Kata
Bambang, di Gorontalo terdapat perhutanan sosial berbentuk kemitraan kehutanan
antara kesatuan pengelolaan hutan produksi dan kelompok tani hutan yang
berfokus pada peternakan ulat sutra seluas 60 hektar dengan pendampingan Badan
Litbang dan Inovasi. “Menurut rencana akan dikunjungi Presiden,” ujarnya.
Lincah sangat berharap ulat sutra unggul yang dihasilkan
bisa menggiatkan kembali budidaya ulat sutra di Indonesia. Apalagi, berdasarkan
catatannya saat ini 90% pemenuhan benang sutra bahan pembuatan kain sutra
didatangkan melalui impor yang menggerus devisa negara.
Rehabilitasi lahan
Budidaya ulat sutra turut berkontribusi pada rehabilitasi lahan kritis dan alternative ekonomi di area perhutanan sosial. Selain mencari ulat sutra unggulan, peneliti menyisir kualitas daun murbei yang cocok bagi kebutuhan pakan.
Pada tahun 2013, bersamaan dengan peluncuran PS-01, Badan Litbang dan Inovasi KLHK juga meluncurkan varietas pemulihan merbei baru (SULI 01 atau singkatan nama peneliti Sugeng dan Lincah) dengan produksi daun 30% lebuh tinggi. Pada jenis murbei biasa, Morus cathayana, hanya memproduksi 26,16 ton per pangkas per hektar, sementara SULI 01 mencapai 37,18 ton per pangkas per hektar.
Dengan produksi daun 30% lebih tinggi dari jenis murbei konvensioanl, efisiensi lahan lebih tinggi. Dengan ulat sutra PS-01 dan murbei SULI 01, dihasilkan 40kg kokon dari satu boks telur (sekitar 25.000 telur). Sejumlah 40 kg kokon tersebut bisa menghasilkan 4 kg benang atau 4 meter kain.
sumber :
~Harian Kompas Senin 22 Oktober 2018
~http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/39541/Chapter%20II.pdf;jsessionid=0654FFEFEF4D0DCF5D20CB351EF2F242?sequence=4
Komentar (0)
Post a Comment